Sabtu, 07 Februari 2015

Jangan Gelisah


Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi - yang pernah saya dengar - yang isinya kira-kira, "Wahai anak adam mengapa kamu gelisah dan risau, padahal segala kebutuhanmu pasti aku cukupkan, dan mengapa kamu berfoya-foya dan bersuka cita secara berlebihan, padahal umurmu semakin berkurang". Ada dua urusan yang disorot dalam hadits qudsi tersebut, yaitu urusan rejeki dan urusan umur.
Aktivitas orang setiap hari adalah bekerja - baik di kanor maupun di lapangan / lahan - untuk mencari nafkah, jelasnya untuk makan. Karena setiap 2 atau 3 jam - yang kuat bisa sampai 6 jam - perut manusia mulai terasa perih, lapar, dan minta diisi. Oleh karena itu manusia berusaha memenuhinya dengan mencari makanan, atau membeli, atau membuat / memasak. Tetapi, perkembangan budaya membimbing manusia untuk tidak hanya mencari makanan untuk saat itu atau hari itu. Melainkan juga membuat persediaan untuk makan nanti malam, esok hari, bulan depan, tahun depan, nanti kalau sudah pensiun, bahkan untuk anak cucunya, dan untuk tujuh keturunan berikutnya dan seterusnya. Semacam tidak percaya bahwa anak cucunya kelak bisa memiliki rejeki sendiri, hal itu yang disorot hadis di atas.
Sehingga orang rela, melakukan berbagai upaya bahkan menghalalkan segala cara untuk menimbun dan mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tidak peduli nabrak sana nabrak sini yang penting meraup dan meraup. Mungkin hal itu yang menghinggapi para pemegang otoritas di negeri yang korup, merasa gelisah dengan kebutuhan makannya hari ini besok minggu depan tahun depan, makan anak dan cucunya, sehingga perlu dipersiapkan sekarang dngan ditimbun ditumpuk-tumpuk. Ternyata hal itu tidak cukup membuat dirinya cukup nyaman dan tenteram, masih saja gelisah dan risau.
Seolah tidak percaya bahwa Allah akan mencukupinya, seperti ulat di bawah ini. Ulat ini sudah beberapa hari - setahu saya 3 hari - sendirian di pohon jeruk kecil yang tumbuh dengan sendirinya di depan teras rumah. Pohon - belum jadi pohon cuma cukulan - jeruk itu tingginya kira-kira 10 cm daunnya tidak sampai 10 lembar, tetapi rupanya cukup menghidupi seekor ulat berwarna hijau panjangnya kira2 2 cm. Setiap hari saya mengamatinya, dan setiap hari saya bertanya-tanya, 
"Siapa juga yang menaruh ulat di situ",
"Kenapa memilih di pohon kecil, padahal di atasnya ada pohon klengkeng yang lebih besar", pohon klengkeng yang belum lama saya tanam itu daunnya sama sekali tidak ada ulatnya.
"Apa cukup daunnya untuk kebutuhan makannya seumur hidup"
"Apakah nantinya akan disitu terus"
"Teman lainnya kemana, kok sendirian, memang sih lebih baik sendirian kan daunnya cuma sedikit".
Bagi yang percaya dengan hadits di atas, akan berkata, "ulat saja yang sekecil dan seremeh itu diberikan rejeki, disediakan makanan sesuai dengan kebutuhannya". Karena ia ulat jeruk - berwarna hijau kepalanya seperti berhelm - maka diberikan ia daun jeruk, tidak ditaruh di atas daun kelengkeng yang lebih banyak dan lebar. Kalau saya hitung dari bekas daun yang sudah dimakan kiar-kira sudah menghabiskan 4 helai daun jeruk, saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, bagaimana kalau daunnya akhirnya habis semua? Semoga selama dia nyaman disitu tidak ada yang mengganggu.