Rabu, 27 November 2013

Adu Masa

Masyarakat kita mudah diprovokasi, atau senang diprovokasi, atau sering diprovokasi, atau juga berpengalaman menghadapai provokasi, "ndak tahu mana yang benar....". Menurut pakar psikologi masa, masyarakat yang gampang terprovokasi itu mengindikasikan masyarakat yang sedang sakit. Tidak memilki kemapanan pola pikir, yang akhirnya tidak memiliki arah tujuan perjuangan yang pasti, mudah terombang-ambing, gampang diming-imingi, dan suka berandai-andai.
Masyarakat yang mudah terprovokasi menjadi surga bagi para penggerak masa, makanan empuk bagi para provokator, untuk memobilisasi kepada tujuan yang dikehendaki, meskipun terkadang - biasanya banyak iyanya - tidak sesuai dengan kehendak masa tersebut. Gerakan akhirnya disesuaikan dengan maksud dan tujuan si penggerak massa. 

Jika mobilisasi masa menjadi sesuatu yang halal, atau bahkan suatu keniscayaan untuk mencapai tujuan, maka alangkah kacaunya bangsa ini. Bagaimana tidak, setiap kelompok, dengan mengatasnamakan organisasi berdemo menuntut 'ini itu', memaksakan kehendaknya untuk dipenuhi tuntutannya. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi para dokter se-Indonesaia demo sebagai solidaritas kepada kawannya yang di tahan. Bayangkan sendainya para dokter ini ber'keras kepala' dengan tidak mau praktek dan melayani pasien jika tuntutannya tidak dipenuhi, bisa-bisa jumlah kematian naik secara drastis.
Bagaimana pula jika pada kesempatan lain, kelompok profesi lain yang berdemo. Misalnya, guru demo menuntut perbaikan gaji, dan jika tidak dipenuhi tidak mau mengajar. Atau ada kelompok lain, buruh dan karyawan demo tidak mau bekerja, atau mungkin juga polisi demo tidak mau berdinas, atau para sopir tidak mau mengangkut penumpang. Alangkah runyamnya masyarakat ini, jika gerakan memobilisasi masa itu dianggap sesuatu yang syah, sesuatu yang harus terjadi.
Kenapa sekarang setiap orang atau kelompok menjadi begitu egois, kalau urusan hak seolah kelompoknya yang paling dirugikan, sementara untuk urusan prestasi atau kinerja seolah dirinya dan kelompoknya merasa paling berjasa. Kalaulah mau egois-egoisan, siapa yang paling berjasa? Dokter, ataukah guru, ataukah polisi, atau buruh dan karyawan, atau tentara, ataukah pengusaha. Bagaimankah suatu bangsa bisa beroperasi jika tidak ada polisi, atau ada polisi tidak ada guru, atau mau mencoba ada guru tidak ada buruhdan karyawan, atau bagaimana kalau ada buruh dan karyawan tidak ada pengusaha, atau semua itu ada tapi tidak ada anak-anak, tidak ada pelajar, tidak ada mahasiswa.

Tentu saja tidak mungkin, jika mengedepankan sikap egois yang berlebihan. Tentu saja harus mengutamakan saling menghargai jasa dan keberadaan profesi lain, sebaliknya harus bisa berempati terhadap saudara-saudara yang kurang beruntung. Karena, sebenarnya tidak ada profesi yang paling 'enak' di dunia ini, tidak ada pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia ini. Yang ada adalah "mari kita enakkan profesi kita ini", atau "ayo, kita senangi pekerjaan ini". Sehingga tidak perlu sedikit-sedikit menuntut pihak lain untuk menjadikan profesi kita enak dan menyenangkan. Mari kita ikut andil dalam menyembuhkan masyarakat yang sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar