Rabu, 03 Mei 2017

Seri 1 : Ngono yo ngono ning ojo ngono

Pagi itu lalu lintas pada jam sibuk, semua kendaraan keluar rumah. Ada yang berangkat kerja, ada yang berangkat ke pasar, ada yang mengantar ke sekolah, dan yang paling dominan kendaraan yang dikendarai anak-anak sekolah untuk berangkat sekolah. Semua ingin cepat sampai tujuan, semua tidak ada yang mau terlambat sehingga tidak ada yang mau mengalah.

Saya melihat seorang bapak mengendarai motor membawa tiga anak sekaligus, semuanya laki-laki. Yang paling kecil di pangku di paha kiri (tanpa selendang), yang agak besar berdiri di depan, yang paling besar (berseragam sekolah) duduk di belakang, semuanya masih kecil-kecil. Sungguh pemandangan yang membuat miris campur haru (apa namanya). Sepintas dari raut wajah sang bapak, menunjukkan kejengkelan atau kemarahan. Dari caranya mengendari motor yang (meskipun tidak terlalu cepat) terkesan tidak mau mengalah dengan wajah yang mrengut tidak bersahabat.

Setiap orang mempunyai persoalan sendiri-sendiri. Tak satupun orang yang sedang tidak menghadapi masalah. Namun begitu tidak perlu merasa menjadi orang yang paling tersiksa atau terhina dalam hidupnya, sehingga merasa orang lain perlu memahaminya. Seperti kisah di atas, mungkin saja di rumahnya sedang terjadi persoalan sehingga perlu mengungsikan anak-anaknya ke rumah saudara, atau ke rumah neneknya. Tetapi harus tetap dengan cara-cara yang aman dan tidak menantang persoalan baru. Jika memang sedang stress atau sumpek, tapi jangan kemudian membuat anak-anak dalam bahaya. Pasti ada cara lain yang tentunya lebih baik dan tidak memberikan dampak yang kurang baik. Ngono yo ngono ning ojo ngono.

Selasa, 02 Mei 2017

Ngono yo ngono ning ojo ngono

Kalimat tersebut adalah ungkapan dalam bahasa jawa, yang maknanya meskipun begitu (boleh) tapi jangan begitu. Agak sedikit membingungkan, tapi itulah bahasa jawa, yang tentunya tidak terlepas dari kultur jawa dalam menyikapi berbagai persoalan yang cenderung mengarah pada dikotomi atau polaritas (benar-salah, iya-tidak, hitam-putih). 


Hal tersebut memberikan kesan bahwa orang jawa itu ambigu, tidak tegas atau plin plan. Tentu tidak begitu. Budaya jawa selalu mengedepankan pendekatan personal, mengutamakan kompromi, meletakkan urusan pada posisi tengah-tengah (istilahnya Steven Covey : Win Win Solution). Dalam agama (islam), konon katanya, sebaik-baik urusan adalah yang di tengah-tengah. 

Ungkapan tersebut kalau dibahasa-indonesiakan jadi "gak enak", BEGITU YA BEGITU TAPI YA JANGAN BEGITU. Apalagi dalam bahasa inggris (ngawur) : DO THAT YES DO THAT BUT DON'T DO THAT. Ada beberapa persoalan yang posisinya secara geografis  pada perbatasan dua wilayah yang saling bertentangan, sehingga sering menimbulkan persoalan baru yang cukup pelik untuk menyelesaikannya. Bisa hal berkaitan dengan tata tertib, kedisiplinan, aturan dan norma, dan lain lain. Kalimat tersebut sebagai bentuk ungkapan pemakluman terhadap persoalan, agar semuanya tetap bisa berjalan, tanpa saling menganggu apalagi beradu.


Misalnya, dalam tata kinerja pegawai atau karyawan, dimana karyawan harus datang di kantor setiap hari, tidak boleh melebihi pukul 07.00. Timbul persoalan, salah seorang karyawan yang cukup diandalkan (karena kemampuannya di bidang IT sangat dibutuhkan) setiap hari harus membagi tugas antara bekerja di kantor, menyelesaikan tugas kuliah (masih berstatus mahasiswa pasca-sarjana) dan menuntaskan tugas rumah (sebagai kepala keluarga). Hal itu menyebabkan dia sering datang terlambat, pulang lebih awal, bahkan beberapa kali tidak masuk kerja. Sesuai aturan jelas karyawan tersebut melanggar sehingga harus dipecat. Sebaliknya ketika karyawan tersebut tidak ada, maka aktivitas kantor bisa mandek, sementara untuk mendapatkan pengganti yang "siap" bekerja tidak mudah. Maka diambil jalan tengah, saling mengerti, ada toleransi, saling memahami persoalan masing-masing dan saling bertanggung jawab. Semua tetap bisa berjalan tidak saling menyakiti dan menghina. Bagi karyawan tetap harus menghormati aturan kedisiplinan, sementara pimpinan mengerti persoalan keluarga yang dihadapi karyawan dan maklum adanya, maka "ngono yo ngono ning ojo ngono". Bisa diterjemahkan "telat ya telat tapi jangan terus terusan telat", tetaplah berupaya untuk memperbaiki diri sesuati aturan, sehingga tidak menimbulkan saling iri diantara sesama karyawan.

Sikap seperti itu bukan satu-satunya jalan keluar, dan bukan yang terbaik. Karena yang terbaik itu relatif, tergantung siapa yang mengambil keputusan. Sedangkan setiap keputusan selalu mengandung resiko. Sehingga tergantung si pengambil keputusan mau mengambil resiko yang mana, yang kiri, yang tengah, atau yang kanan. TIADA KEPUTUSAN TANPA RESIKO

Kamis, 20 April 2017

SEMANGAT BER-KARTINI

Bulan april, bulan Kartini, bulannya para pejuang perempuan Indonesia. Kartini sebagi symbol perjuangan wanita di era yang menganggap perempuan sebagai pelengkap kehidupan kaum pria. Hingga saat ini kegigihan Kartini dalam berjuang meng-akualisasikan keberadaan kaum perempuan tetap menginspirasi para wanita jaman sekarang.


Kartini disimbolkan sebagai wanita pejuang yang berbudaya. Oleh karena itu sekedar mengingatkan apa yang telah diperjuangkan Raden Ajeng Kartini, para wanita (ibu2, para remaja, anak2) mengenakan busana tradisional jawa – kebaya. Bahkan sekarang meluas secara nasional dengan busana tradisional daerah masing-masing.


Termasuk hari ini (21 April 2017), mengikuti instruksi dari Kepala Cabang Dinas Pendidikan Sidoarjo, para guru dan seluruh karyawati di lingkungan sekolah mengenakan busana tradisional – kebaya. Peristiwa ini adalah pertama kalinya di SMANOR. Sebuah pemandangan yang membuat semua orang dan siswa “wouw” (excited), melihat ibu-ibu guru tampil berbeda menjadi semakin beriwibawa dan cantik-cantik.

Tentu saja hal itu menarik minat para siswa untuk mengajak foto bersama – dasar anak/orang sekarang sukanya selfie – dengan berbagai pose dan gaya. Para ibu-ibu yang sudah berdandan rapi tentu saja dengan senang hati mengiyakan ajakan anak-anak yang manja itu.  Maka pagi itu yang semestinya kegiatan pembelajaran untuk sesaat dikorbankan untuk memperingati hari Kartini – caranya Cuma foto-fotoan.


Namun sayang, dari sekian guru dan karyawati yang ada di SMANOR hanya ada empat ibu-ibu yang tampil berbusana Kartini. Antara lain : Bu Kutsiyah, Bu Niniek, Bu Utami, dan Bu Nia. Namun demikian hal itu tidak mengurangi kegembiraan dan kehebohan anak-anak dalam berfoto-ria dengan para Kartini Smanor
.


Kartini tetaplah Kartini, meskipun saat ini exixtensi wanita sudah bukan lagi pelengkap laki2 – seperti masanya Kartini – tetapi peringatan itu tetap actual untuk diadakan. Meskipun anak2 perempuan sekarang, meskipun siswa2 perempuan SMANOR kontribusinya sudah setara dengan kaum pria, peringatan hari Kartini (Kartini-an) tetap menarik untuk dilaksanakan. Setidaknya peringatan itu sebagai ungkapan terima kasih pada sang Raden Ajeng yang telah membuka cakrawala perempuan Indonesia sehingga saat ini semua wanita Indonesia telah menjadi pejuang perempuan di dunianya masing-masing


Harapannya perjuangan Kartini terus berlanjut bukan sekedar memperjuangkan hak perempuan, tetapi memperjuangkan martabat manusia seluruhnya dalam bingkai kemasyarakatan yang beradab, berbudaya dengan menjujung akhlakul karimah.


Demikian juga peringatan Kartinian ini tidak terbatas pada guru dan karyawati tetapi juga pada siswa dan semua elemen yang ada di smanor.

(patoyo.media.kom)