Minggu, 29 Desember 2013

Menuju Puncak Ijen

Wisata kawah, atau gunung, merupakan wisata yang sangat menarik, indah dan juga menantang. Sehingga tidak sedikit kawah-kawah di Indonesia menjadi destinasi favorit untuk berwisata, sebut saja : bromo, tangkuban perahu, kawah putih, kelud, telaga tiga warna, dan tentunya ijen. Karena kawah selalu berada di puncak gunung maka untuk mencapainya harus bersusah payah mendaki, hal itulah yang merupakan tantangan berat sebelum bisa menikmati keindahan panoramanya.
Gunung Ijen berada tepat di wilayah perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso, sedangkan kawahnya sendiri masuk wilayah Bondowoso. Namun begitu, di sepanjang rute jalan setapak menuju puncak, kita akan sering keluar masuk wilayah Banyuwangi - Bondowoso. Di pos masuk merupakan wilayah Banyuwangi bergeser ke belakang pos,  di lapangan tempatnya para pendaki mendirikan tenda adalah Bondowoso. Demikian juga ketika mulai naik ada tapal batas kedua wilayah, karena jalan berkelok-kelok maka berkali-kali menemui tapal batas serupa yang berarti kita akan keluar masuk kedua wilayah tersebut.
Untuk mencapai kawah belerang yang sangat termashur itu, bisa melalui jalur Bondowoso ataupun dari jalur Banyuwangi, kedua-duanya bisa dengan mudah mencapai pos akhir sebelum mulai pendakian. Saya sendiri berangkat dari kota Banyuwangi, mengendarai mobil pribadi bersama keluarga, dan ternyata bisa mencapai pos di Paltuding dengan cepat dan mudah. Awalnya, dari informasi yang saya dapat, dari internet, kawan, dan karyawan hotel tempat menginap, untuk mencapai puncak Ijen itu susah dan harus dengan kendaraan khusus dan bila perlu pemandu khusus. Ternyata tidak, dengan tekad bulat, saya hanya mengandalkan tanda penunjuk arah 'plang hijau' di tiap perempatan jalan dan belokan yang menunjukkan arah ke kawah ijen. Dan ternyata penunjuk arah itu sangat akurat, jelas dan sangat membantu.
Saya berangkat dari kota Banyuwangi kira-kira pukul sembilan pagi, sempat mampir ke desa wisata Osing, kemudian ke Perkebunan Kali Bendo hingga mencapai wilayah Kecamatan Licin. Untuk mencapai Licin bisa melewati jalur lain yang lebih bagus dari kota banyuwangi, dan itu jalur yang resmi seperti ditunjukkan 'plang hijau'. Dari Licin semua tanda arah menuju kawasan Ijen sangat jelas dan tinggal mengikuti saja. Jalur ini beraspal dengan kualitas cukup bagus, hanya memang tidak terlalu lebar sehingga bila berpapasan dengan mobil lain harus pelan-pelan. Jalur ini akan berakhir atau finish di Paltuding, pos akhir dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sepanjang jalur dari Licin sampai Paltuding merupakan kawasan hutan kurang lebih sejauh 17 kilometer, sedikit menanjak dan jalannya berkelok-kelok. Bagi yang menyukai tantangan, jalur ini akan sangat menyenangkan, karena kelokan-kelokannya, dan tanjakan serta aspalnya yang bagus dan rata. Beberapa kali saya berpapasan dengan mobil lain, dan juga beberapa sepeda motor. Pada awal baru masuk kawasan hutan, saya sempat ngeri, karena tampak sepi, tidak ada kendaraan satupun di depan atau di belakang saya. Setelah sepuluh menitan bergeser masuk ke kawasan utan lebih dalam, saya mulai bertemu pengendara lain. Tepat jam setengah sebelas saya sumringah, karena telah mencapai finish di Paltuding.
Dari sinilah awal penderitaan itu dimulai, setelah membayar tiket masuk yang teramat murah dua ribu rupiah per orang - kelihatannya tidak membayarpun tidak akan ada yang tahu - kami berempat mulai bersiap-siap naik ke puncak. Dengan penuh semangat dan rasa percaya diri tinggi kami mulai melangkah naik, sepuluh meter, dua puluh meter, seratus kilometer, "aduh...sebentar istirahat", istri saya tidak kuat dan meminta waktu sebentar. Bagi anak-anak saya yang masih belasan tahun rute itu sama sekali bukan masalah, tetapi bagi orang seusia saya yang sudah hampir lima puluh tahun, tanjakan itu sangat berat, apalagi bagi perempuan - ibu ibu.
Untuk mencapai kawah di puncak Ijen harus melewati jalan tanah berpasir kasar itu sejauh tiga kilometer, dengan kemiringan tanjakan sepuluh sampai dua puluh derajat - hanya di kilometer kedua yang cukup berat dengan tanjakan kira-kira empat puluh lima derajat. Dengan kondisi jalan yang naik, dan berkelok, istri saya butuh istirahat tiap sepuluh sampai dua puluh meter. Tidak sedikit para pendaki lain - para orang tua dan ibu ibu - yang harus menyerah dan kembali turun. Namun begitu, banyak juga yang berhasil mencapai puncak dan kembali turun, yang memberikan semangat kepada kami untuk terus mendaki dan berjuang sampai atas.
Meskipun tertatih-tatih, kami tetap bergerak, semakin naik sedikit demi sedikit. Istirahat sejenak, berjalan lagi, dengan dibantu tongkat kayu alakadarnya - sekedar menemani bersusah payah - akhirnya sampai di kantin untuk bisa sejenak beristirahat. Ternyata, keberadaan kantin ini seperti menipu - karena seolah sudah sampai atau sudah dekat, ternyata itu baru kira-kira separo perjalanan - padahal capeknya yang dirasakan istri saya bukan main. Hanya semangat dan kemauan yang mendorong untuk terus bergerak, kali ini ternyata tanjakannya semakin parah, di tikungan yang diberi trap itu, istri saya harus satu persatu menaiki trap. Kami sempat disalip atau didahului dua turis asing - masih muda - yang naik sambil terus berlari. Mendekati puncak pemandangan semakin bagus, dan kami semakin semangat dalam kelelahan yang membelit sekujur tubuh. Tak bisa dibayangkan seperti rasa capeknya para kuli pengangkut batu belerang itu, yang naik kemudian turun dengan memikul belerang seberat 70-80 kilogram.
Akhirnya semakin di atas jalan semakin rata dan pemandangan semakin menakjubkan, panorama yang tidak akan saya jumpai jikalau saya tidak naik ke atas sini - Puncak Ijen. Setelah kira-kira dua jam mendaki kami mencapai puncak dan melihat kawah menganga dan mengepul, kami bersyukur, bergembira, kemudian duduk 'nglepos' di tanah berpasir, membiarkan tubuh kami yang lelah dikotori tanah dan pasir. Kami melihat sekeliling, benar-benar kami berada di puncak gunung, luar biasa. Pemandangan alam yang sulit digambarkan dan diceritakan, karena jika saya menceriterakan dengan kesan utuh yang saya dapat, saya lihat, dan saya rasakan, tentu kesan yang ditangkap pembaca akan sangat berbeda, karena hanya membaca tanpa merasakan penderitaan untuk mencapai itu. Intinya adalah kalau ada waktu, kesempatan, dan energi lebih tidak akan rugi jika anda mencoba ke sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar